f

kumpulan cerpen cinta, cerpen sedih, cerpen gaul, cerpen islami, puisi cinta, puisi galau dan artikel islami, komik muslimah dan lain-lain

CERPEN : SEGENGGAM PASIR PUTIH PULAU DERAWAN

Cerpen Indahnya Indonesiaku

SEGENGGAM PASIR PUTIH PULAU DERAWAN

catatan, cerpen, kertas
cerpen anak bangsa (rifda arusy)
“Gila loe, seneng kali tinggal di Indonesia, kalo gue pengennya tinggal di Paris dibawah menara Eifel atau ngga gue pengen tinggal di Singapura, belanja sepuasnya”. Ujar Dian.

Sedikit miris bila diingat ucapannya, seorang warga Indonesia yang mengaku kaya, tetapi, tidak menyadari kekayaan negeri sendiri. Aku memang bukan seorang
yang hebat, yang bermimpi tinggal di tempat semacam itu. Tetapi aku lebih tau, bahwa Keindahan Indonesia melebihi terangnya lampu menara Eifel.
Aku, seorang mahasiswi yang kurang mampu, sering menelusuri jalanan dengan modal kaki kanan dan kaki kiri. Ulan, nama yang melekat di diriku. Seorang gadis
remaja dari sebuah desa kecil di Balikpapan. Usia yang hampir kepala dua, berstatus mahasiswi di Universitas Balikpapan jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Pembiayaan kuliah ini bukan dari kedua orangtuaku, seorang kerabat dekat yang baik hati memberikan sedikit uangnya untuk membiayai pendidikanku.

Aku berhutang budi, belajar keras yang bisa kulakukan sedari aku sekolah. Berjalan kaki menuju kampusadalah rutinitasku setiap hari. Hamparan jalan keabu-abuan menjadi pijakan kaki, tak ada barisan bukit berembum pagi yang sering ku renungi di desa kecilku “indah nian ciptaan Tuhan, dan tak seorangpun menyadari keindahan itu”.

Mempunyai teman-teman yang mapan dan hidup dalam kemewahan adalah suatu keberuntungan bagiku, meski terkadang aku tersudutkan karena pakaian yang kumal dan berdebu. Tatapi, aku bersyukur dengan keadaan ku seperti ini, menikmati negri ku sendiri tanpa menghabiskan uang banyak, berjalan kaki memperhatikan kemewahan negeri, meski yang terlihathanya gedung tinggi. Aku tau, dibalik gedung tinggi, ada hamparan luas ukiran indah dari Tangan Tuhan.

Saat itu mereka berencana pergi ke luar negeri dan menawarkan ajakan itu kepadaku. tapi aku menolak, aku takut harus berutang budi lagi kepada orang lain. Tak ada niat sedikitpun untuk menginjakkan kaki ke luar negri, Indonesiaku sendiripun belum pernah kutempuh.

“Lan, ke singapura yuk, sabtu kita berangkat, minggu kita balek, ceritanya hunting refresing sambil belanja gitu dech” sahut Dian teman sekelas Sastra Indonesia.

Aku mencoba menjawab ajakan mereka.

“kalian pernah pergi ke Derawan ? sebuah tempat yang terhampar indah tanpa campur tangan manusia, menyejukkan setiap bola mata, jutaan bahkan milyaran butir pasir bersedia diseret air pantai, lautan yang mampu berubah warna dari hijau menjadi biru, lambaian daun kelapa yang menyapa, perpaduan Sinar Matahari yang hangat dengan pemandangan pantai pasir putih nan halus. Hmmmm”. Sambil menghayal aku bercerita kepada mereka.

“hahahahahha, loe buat puisi Lan ? kalo loe ngga mau ikut ya udah. Bye, kami ke kantin dulu”. Citra menyambung ceritaku yang penuh harap.

Aku hanya mampu menghayal, tempat indah di tanah kelahiranku sendiri belum mampu ku jejaki. Pulau Derawan, hmmmm, impianku tak perlu menjauh dari tanah yang aku pijak sekarang, mengabadikan sebuah album photo bersama rekan-rekanku di Derawan sudah cukup bagiku.

Aku tau Derawan ini dari buku-buku wisata di perpustakaan kampus, sebuah tempat wisata nasional yang terletak di Kepulauan Derawan, Kecamatan Derawan, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Meskipun aku berada diKalimantan, tetapi bukan hal mudah untuk menjangkau pulau Derawan dengan keadaan ekonomi yang mencekik ini. Sekarang hanya mampu bercerita dengan lembaran kertas dipenuhi do’a, semoga suatu saat Keindahan Alam milik Tuhan ini mampu kutatap nyata.

Pulang dari kampus, berjalan di tengah kota besar Kalimantan Timur, tapi ini cukup menjadi indah bagi pandanganku. Aku berfikir, keadaanku lebih beruntung dari kakayaan yang dimiliki teman-temanku, aku tidak punya kekayaan materi, tapi aku memiliki keindahan Negri yang tidak mereka sadari.

Setiap hari, pukul 5 sore biasanya aku pulang. Aku manfaatkan waktu luang untuk ke perpustakaan, menyelesaikan tugas, mencari informasi, dan tidak lupa mencari artikel wisata Indosesia dan berharap salah satu akan ku kunjungi. Hal ini harus ku lakukan setiap hari, karena fasilitas kuliah tidak ku miliki di rumah.
Seorang mahasiswi miskin yang hanya bermodal sastra seadanya, berlatih menyusun kata diatas kertas putih bersih. Menulis setiap harapan dan menggantungkannya didinding kamar. “akan ku genggam pasir putih Derawan”. Catatan yang kutulis lengkap dengan gambar sebuah pulau indah.

Hari ini, tepat hari jumat pukul 9.40, terik matahari menyengat kulit menciptakan bayangan disepanjang jalan menuju kampus. Bukan untuk masuk kelas sastra, hari ini aku berniat ke perpustakaan kampus, mencari keberuntungan di selebaran kertas koran.

Disudut bawah koran halaman 10, tertulis di dalam sebuah kotak besar sayembara cerpen dengan hadiah yang diperebutkan adalah lima tiket pariwisata ke Pulau Derawan, Kalimantan Timur. Lomba yang diadakan oleh salahsatu perusahaan majalah di Indonesia yang berdiri kokoh di tanah Metropolitan.

Kesempatan, ya, kesempatan bagiku untuk menunjukkan sastra yang hampir 3 semester kujalani. Setidaknya aku harus mencoba, meski resiko kalah akan ku temui.

Tulisan yang tertera di surat kabar tersebut dimulai tanggal 15 februari 2013 hingga 27 Februari dengan tema “Persahabatan Remaja”. Dimulai seminggu yang lalu, dan akhir pengiriman tinggal 6 hari lagi. Hanya bermodal tulisan dengan jumlah 4 sampai 6 lembar kertas berukuran A4. Tanpa print, hanya pengiriman melalui email.

“Tuhan, mengenggam pasir putih itu adalah harapan terbesarku saat ini, tuntunlah aku menjadi yang terbaik, aku berusaha, berusaha menciptakan sebuah karya sastra yang indah, agar aku pantas menyaksikan karyaMu yang menakjubkan”.

Baiklah, manfaatkan waktu untuk menciptakan sebuah karya, mencoba menulis didalam kesunyian, menjauh sementara dari suara-suara yang mencabut konsentrasi sastra.

Tengah malam menjadi pilihan waktu yang tepat untuk menghasilkan sebuah karya, meski mungkin ada karya yang lebih indah dari tangan seorang sastrawan muda di luar sana. tinta pena hitam dan kertas putih bergaris menjadi sahabat terbaik. Kata demi kata mulai terangkai, paragraf demi paragraf mulai tersusun.

“Karikatur Terindah Persahabatan kita” judul yang kuberikan untuk tulisan kecil ini, aku mencoba, dan terus mencoba, semoga Tuhan menyaksikan usaha yang ku lakukan, dan memberi sedikit jalan menuju pasir putih Derawan itu.

Tiga hari waktu yang kubutuhkan untuk membuat karya ini. Hari ini, senin, tanggal 25 Februari, aku mencoba meminjam komputer jinjing milik Dian, agar aku bisa mengetik ulang setiap alphabet yang ada dibuku tulis ini.

“Dian, boleh ulan minta waktunya sebentar”.

“why lan ?” tanya dian dengan kesombongannya.

“hmm.. boleh ulan pinjam laptop Dian sehari??”.

“untuk apa?”

“ulan ikut lomba cerpen, harus diketik dan dikirim via email, ulan pinjam laptop Dian untuk menyelesaikan cerpen ulan, sehari aja”.

“hahahahaha, lomba cerpen? Yakin loe lan? Ngga bakalan menang loe. Hahaha. Nih bawa aja laptop gue, besok balikin ke gue lagi, ingat, Cuma sehari”.

Perlakuan yang sedikit tidak menyenangkan, tetapi, hanya dia yang bisa membantu usaha ini. Hanya sehari waktu untuk meminjam laptop, menyalin sembari memperbaiki kata demi kata cerpen ini. Lagi lagi, tengah malam waktu yang menjadi pilihan, demi bertemu panorama Pulau Derawan.

Laptop yang dipinjamkan Dian lengkap dengan modem berwarna hitam, alhamdulillah, aku paham yang berhubungan dengan laptop. Tepat pukul 3 dinihari, tulisan kecil ini selesai dimodifikasi. Sebelum beranjak tidur, aku harus mengirim cerpen malam ini juga, karena keterbatasan peminjaman laptop dan waktu pengiriman tinggal 2 hari lagi.

Dengan kemampuan seadanya, usaha semampunya. Kini, saatnya menanti pengumuman pemenang dua minggu lagi.

Tik tok tik tok tik tok.

Detak jarum jam, detik demi detik menanti terbitnya kertas koran yang memuat pengumuman itu.  Pulau Derawan bayangan yang belum digenggam.

2 minggu berlalu, hari pengumuman itupun tiba.

Dag dig dug, rasa penasaran dan takut kalah menyatu menghasilkan detak jantung yang sangat cepat. Bismillah, lima tiket Pulau Derawan.

Lima pemenang yang akan diambil dari banyaknya peserta. Waaahhhh! Aku masuk dalam nominasi 2 besar. Tuhan mendengar segala doa hambanya yang bersungguh-sungguh. Alhamdulillah. Genggaman itu akan nyata.

Tertera disurat kabar itu, tiket akan dikirim ke alamat masing-masing dengan tanggal keberangkatan 14 Maret. Dua minggu lagi, Derawan akan nyata ku tatap.

Pulau Derawan I’am coming. Rasanya tak ada lagi yang lebih indah dari ini. Berangkat menuju Derawan, terbang dengan burung besi, berjumpa sahabat-sahabat sastra terhebat.

Tepat hari kamis keberangkatan aku ke Pulau Derawan Kalimantan Timur. Dihantar teman kampus ke bandara, Dian, temanku yang senang dengan kekayaannya, ternyata mampu menyalamiku memberi ucapan selamat. Aku menyadari, harta tak selamanya menciptakan kebahagiaan.

“Kepada para penumpang, diharapkan memasang sabuk pengaman yang ada disamping kursi masing-masing”. Suara lembut dari seorang pramugari cantik di dalam pesawat. Ya, aku telah berada didalam tubuh burung besi, duduk ramah diatas sebuah kursi hitam pekat di lingkari sabuk pengaman ketat. Menikmati perjalanan selama 55 menit.

Awan putih menjadi bayangan sebuah pulau penuh lambaian tinggi daun kelapa menghijau, menyapa Pulau Derawan yang dikenal dengan surga selam.

Satu, dua, tiga, roda pesawat mulai di turunkan untuk pendaratan.

Waahh !! Derawan yang hanya mimpi menjadi nyata, kenangan terindah akan kucipta dengan kamera handphone berukuran 5MP. Seorang laki-laki, memegang sebuah kertas tertulis namaku “ULAN, BALIKPAPAN”. Ternyata dia salah satu pegawai kantor yang mengadakan lomba ini, ia menjemputku dan mengantarku ke tempat penginapan yang dekat dengan pulau derawan. Disana telah hadir pemenang 5 besar lomba cerpen dan beberapa  pegawai kantor.

Nisa, Aku, Gita, Putri dan Siska. Teman baru yang memiliki sastra luar biasa, saling sapa dan berkenalan.
Kekerabataan yang luar biasa meski baru bertemu.

Setelah beristirahat, saatnya kami menikmati panorama terindah Pulau Derawan. Menelusuri jalan dengan kaki, melihat keindahan alam disekitar penginapan hingga kaki menyentuh pasir putih Derawan.
Genggam, ya, aku genggam pasir putih Derawan dan mengabadikannya dengan kamera handphone. Tuhan, inikah surga dunia yang kau ciptakan? tetapi, mengapa banyak rakyat Indonesia tidak menyadari karyaMu? Mereka lebih memilih pergi dari tanah air.

Duduk di tepi pantai, menikmati suasana pantai yang sedang berbisik ingin mengajakku menyelam. Aku tahu, Pulau Derawan adalah surga selam pecinta Alam. Warna-warna ikan yang unik, air yang jernih, batu karang yang tersusun rapi membentuk satu kesatuan surga laut.

Pelau Derawan telah ku tatap nyata, dan keagungan Tuhan telah ku saksikan bersama rekan. Pengabadian telah menjadi kenangan. Kejadian indah terekam di dalam kertas tebal berwarna.

Dua hari telah berlalu, Pulau Derawan menjadi kenangan terindah. Rekan sastra menjadi sahabat terbaik. dan kini, saatnya kembali menjadi seorang mahasiswi, dan bercerita, bahwa Indonesia lebih indah dari apapun.

Aku ingin, suatu saat, aku akan mengililingi dunia hanya dengan sebuah karya. Panorama Pulau Derawan mengawali tekad ini.






0 komentar:

Posting Komentar

berikan komentar pada tulisan ini dengan kata yang sopan dan bijak ya sahabat media ^_^, jika komentar dianggap spam oleh admin komentar akan di delete ^_^ terimakasih