f

kumpulan cerpen cinta, cerpen sedih, cerpen gaul, cerpen islami, puisi cinta, puisi galau dan artikel islami, komik muslimah dan lain-lain

Cerpen sedih : Harapan diujung Senja


Harapan di Ujung Senja


Mungkin ini adalah surat terakhirku untukmu, meski akhir dari surat ini tak sesempurna harapanku, aku relakan segala yang terjadi demi kebahagiaanmu.


^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^^
Dear kak Rafa
Dimanapun engkau berada
Kakak, hampir sepuluh tahun kita tak lagi berjumpa, dan selama itu pula aku menahan rindu kepadamu. Hari ini usiaku genap 13
tahun dan mungkin usiamu hampir 23 tahun. Foto kita ketika kecil masih ku simpan dibawah bantal tidur, setiap ingin berbaring aku selalu menatap wajahmu meski hanya dari selembar kertas. Terkadang air mata itu mengalir membasahi pipi mungilku yang kering.

Kakak, surat ini bukan tulisanku tetapi tulisan seoarang suster yang baik hati. Kakak pasti heran kenapa suster yang menulis surat ini.

Dulu aku pernah masuk bangku sekolah, tetapi hanya sampai kelas tiga  sekolah dasar. Aku harus berhenti karena kasihan, kasihan melihat perjuangan ayah dan ibu mencari biaya sekolah untukku, jangankan untuk sekolah, untuk makan saja adik terkadang meminta-minta di jalanan. Hidup adik sangat kesepian setelah kakak pergi hari itu.

Kakak, kini aku mengerti alasan kakak meninggalkan kami, meninggalkan adik seorang diri, meninggalkan air mata untuk ayah dan ibu.

Kakak pasti masih ingat kisah itu. Ketika kita berdua berdiri didepan pintu kamar ayah dan ibu. Ketika itu ayah dan ibu sedang berada dalam sebuah pertengkaran. Pertengkaran yang belum kita mengerti alasannya. Tetapi, ketika itu ayah pernah mengatakan aku bukan anak kandungnya, aku hanyalah seorang anak yang lahir tanpa tahu siapa ayahku.

Kakak, setelah kejadian itu, kau menjauh dariku. Seolah-olah diriku ini menjijikkan bagimu, menjauh sejauh mungkin dariku. Saat itu aku belum mengerti apa maksudmu menjauh dari adikmu ini. Tetapi, hari ini aku mengerti alasanmu tak menginginkan aku.

Tetapi kak, aku tidak tahu tentang hal ini, kenapa aku yang harus kau benci??, kenapa aku yang menanggung semua ini?? Apa salahku ?? apa salahku kak??

Mungkin surat ini akan membutuhkan waktu lama untukmu membacanya, mungkin kakak harus sediakan waktu satu jam, dua jam atau bahkan lebih. Aku hanya ingin kakak kembali meski hanya sekejap kau tampak didepan mataku. Aku hanya ingin memelukmu sebentar saja, just five minutes. Itu adalah bahasa inggris yang sempat ku pelajari sebelum aku terbaring.

Kakak, masih terniang ditelingaku ketika engkau panggil aku adik mungil, adik imut dan kau pernah panggil aku sayang. Tetapi kini, aku tidak seperti itu lagi kak. Sangat jauh berbeda dengan diriku yang 10 tahun lalu.
Kak rafa ku sayang, kini usiamu hampir 23 tahun, mungkin kini kau sangat tampan dan gagah. Tetapi sayang, aku tak bisa melihat itu semua, hampir sepuluh tahun kita tak lagi bertatap muka. Sepuluh tahun sudah kau pergi ke Ibu Kota, lari dari kami yang menyayangimu. Aku tahu alasanmu pergi, ketika itu ibu tak mau mengirimkan aku ke panti asuhan, aku dengar ketika engkau meminta hal itu kepada ibu. Ibu sempat meneteskan air matanya tetapi kau tetap ingin menjauhkanku darimu. Aku dengar semua itu dari pintu jendela kamarmu. Saat itu aku memang masih kecil, tetapi, kau bilang “kirimkan adik ke panti asuhan atau aku yang akan pergi dari rumah ini”. Aku sedih kak, aku menangis sendirian disudut belakang rumah, membayangkan betapa hinanya aku dihadapanmu, menangis jika engkau pergi meninggalkan ibu.

Kakak, aku sangat mencintaimu, aku sangat menyayangimu lebih dari sayangku pada diriku sendiri. Jika aku mampu aku akan mengulang kisah-kisah indah kita bersama, aku ingin ketika ayah dan ibu bertengkar kita tidak sedang berdiri di depan pintu kamar mereka. Aku ingin semua itu takkan terjadi.

Kakak, ayah dan ibu sangat baik kepadaku, aku selalu mereka rawat hingga aku sebesar ini. Aku sayang ayah walaupun dia bukan ayah kandungku. Aku juga sayang ibu, ibu yang selalu berjuang untukku.

Kakak, maafkan aku, jika aku membuatmu susah dan benci. Aku tetap sayang kakak. Kakak, pulanglah sebentar, hapuskan air mata dari pipi ibu yang tak pernah berhenti menatapku. Hiburlah ayah yang tampak lesu diwajahnya.

Kakak, aku tahu empat tahun yang lalu kau pernah datang ke rumah kumuh kita dulu, kau ciumi ayah dan ibu. Tetapi, kau pasti tak melihat wajahku dihadapanmu. Aku takut karena aku kau pergi, karena aku kau jauh dari ayah dan ibu. Saat itu aku sembunyi didapur sendirian, ditempat yang kelam dibawah meja piring. Pasti kau masih ingat tempat itu, tempat kita berdua bersembunyi ketika ayah ataupun ibu sedang marah.

Hari itu kau datang dengan mobil mewah berwarna hitam mengkilau. Datang lengkap dengan pakaianmu yang rapi. Sepertinya kau adalah orang yang paling kaya di ibu kota. Kala itu kau datang ingin membawa ibu dan ayah pergi bersamamu dan meninggalkan aku sendirian di rumah kumuh itu. Tetapi sayang, ayah dan ibu tak mau ikut tanpa diriku, sungguh kak, aku rela jika kau bawa mereka pergi.

Kakak, masih ingatkah kau rumah kumuh yang dibangun ayah diujung jalan perbatasan yogyakarta. Tempatnya tidak jelek, hanya bangunan nya saja yang belum bagus.

Kakak, ternyata kau adalah anak yang berbakti, tak pernah kau lupakan ayah dan ibu disini, setiap minggu kau kirimkan mereka surat kecil. Aku tahu, tak ada satupun surat kecil yang kau kirimkan kerumah tertulis pertanyaan bagaimana keaadaanku disini.

Kak, di awal surat aku pernah berkata bahwa surat ini bukan aku yang menulis, tulisan ini pasti sangat cantik sama seperti hati seorang suster yang baik hati itu.

Kak rafa, dua tahun yang lalu kau kirimkan surat kepada ibu yang isinya kau telah menikah dengan seorang gadis ibu kota, disurat itu terselip foto-foto pernikahanmu. Isteri yang cantik yang sebanding dengan ketampananmu.

Kak rafa, nafasku saat ini terasa perlahan-lahan menghilang, tak lagi betah berada di jasad yang lemah ini. Kak, aku ingin kau datang menemuiku, bantu aku menghapus air mata ibu mu, yang tak henti menatap wajahku yang pucat ini. Bantu aku menghibur ayahmu yang lelah mencari uang hanya untuk membayar tempat tidurku yang sangat sederhana ini.

Kak, 3 bulan yang lalu aku rasa aku akan pergi, dan takkan lagi ku melihat tulisan tanganmu yang rapi itu. Darah yang mengalir seperti air membanjiri wajahku yang kecoklatan ini. Hari itu aku menjadi korban tabrak lari dari sebuah sepeda motor, ketika aku mencari sesuap nasi di ujung lampu merah kota pelajar itu. Alhamdulillah ada warga yang baik hati membawa ku ke rumah sakit terdekat. Saat itu yang ku ingat hanya wajahmu, wajah yang tak pernah lagi ku sentuh semenjak 10 tahun yang lalu.

Bukan itu saja kak, ternyata setelah sampai dirumah sakit dan diperiksa, aku menderita kanker otak stadium lanjut. Berita yang sangat merobek-robek kehidupanku.
Kak, aku hanya meminta sedikit dari kasih sayangmu yang dulu pernah ada untukku. Tetapi itu jika engkau tak lagi melihatku jiwa yang kotor.

Kak jika surat ini telah kau baca, mudah-mudahan hatimu menjadi lembut, mau melihatku sekejap saja, dan untuk terakhir kalinya aku ingin memelukmu.

Tetapi kak, jika ketika hatimu telah mencair dan ingin menemuiku mudah-mudahan aku masih terbaring di ruangan sempit ini. Tetapi jika tidak diruangan ini temuilah aku di tempat tidur terakhirku, diantara tanah-tanah yang kering, di dalam lubang kecil yang lebih sempit dari ruanganku saat ini. Rumah baruku yang beratapkan tanah beralaskan tanah jua.

Kak, temuilah aku, bawalah ayah dan ibu bersamamu, buatlah mereka menjadi orang tua yang paling beruntuung di dunia karena dirimu.

Di dalam surat ini ku selipkan foto kita berdua dan di belakangnya tertulis sebuah puisi untuk mu. Jika kau masih membenciku, ku rela kenangan ini kau buang.

------------------------------------------------------

Di kala air mata tak lagi diam
Dikala hati tak lagi sanggup menahan luka
Dikala jiwaku harus mendera kesakitan
Dalam pilu harapan hadirmu menjadi pelipur

Kenangan di sudut pelopak mata
Telah terbasuh setetes demi setetes air mata
Kerinduan di kekososongan hati
Telah merebah menjadi cita-cita

Harap asa ingin berjumpa pelindung jiwa
Pelindung jiwa yang pergi entah kemana
Menerpa keterpurukan diri yang telah lelah
Menarik selimut ketidaksukaan menjadi cinta

Kincir-kincir tiupan hangat sehelai kertas
Tak pernah terselip sebaris nama yang teraniaya
Tetapi rela ku pernah berada dalam tanda tanya
Karena engkau separuh hidupku


Untuk engkau   
Yang ku cinta selamanya

--------------------------------------------------------
vvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvvv

Di ujung senja itu, Rayyan di rujuk keruangan yang dipenuhi alat-alat medis kedokteran, ruang UGD, ruangan penentu hidup dan mati seorang putra yang terluka. Dibawah alam sadar yang tak pernah berdusta, Rayyan selalu mengucap satu nama “Rafa”. Belum juga ia tampakkan wajah yang dianggap adiknya itu tampan.

Diujung senja itu, Rayyan yang terjebak diantara kelutnya shymponi perbatasan kehidupan, tubuh yang dipenuhi alat-alat yang tak pernah ia pegang. Sakit yang bukan kepalang, meregang nyawa diatas harapan.
Ibu Rayyan yang tak lagi sanggup malihat darah dagingnya berwarna pucat tak berdarah segera berlari menelfon Rafa yang tak pernah lepas dari alam bawah sadar Rayyan.

Tuuttt..

Tuttt...

Dua kalli bunyi dering, akkhirnya telfon itu diangkat.

“nak, tolong adikmu yang sedang bertaruh nyawa di Rumah Sakit Harapan Bunda”.

Rafa langsung teringat dengan surat yang pernah di kirimkan Rayyan kepadanya.

“ada apa dengan adikku bu???”.

“adikmu sedang sekarat diujung kehidupan sayang,  hanya namamu yang tak pernah lepas dari bibirnya”.

Detak jantung Rafa tiba-tiba naik mendengar kabar dari ibunya dan teringat masa lalu yang terlalu kejam dirasakan Rayyan karena dirinya. Rafa langsung berangkat menuju RM. Harapan Bunda Jakarta Selatan.
Bunyi langkah kaki yang berlari mengejutkan ibu dan ayahnya.

Tanpa basa-basi Rafa langsung masuk menemui adiknya yang mungkin untuk terakhir kalinya.
Bukan kata yang pertama terucap, hanya sentuhan yang mampu bersuara. Rafa menyentuh tangan Rayyan dan mencium pipinya.

Tiba-tiba Rayyan berbicara.

“peluk aku kak Rafa!”

Tanpa kata tanpa bahasa, Rafa memeluk hangat tubuh adiknya.

Suara terakhir yang terdengar dari seorang malaikat kecil, yang akhirnya tertidur lelap dan takkan membuka mata lagi untuk selamanya. Air mata menjadi saksi bisu kebahagian Rayyan  yang bertemu Rafa dalam penghujung kehidupannya.

Seorang ibu yang berhati lembut yang menyaksikan tetes air mata dari kedua anaknya berkata.

“Rayyan, kini telah kau dapatkan sentuhan hangat dari kakakmu yang telah lama hilang dari dirimu, dan sekarang kecupan dari ayah dan ibu yang akan menhantarkanmu tidur lelap di pangkuan Tuhanmu, air mata ini menjadi bukti besarnya cinta kakakmu untukmu, meski kau pernah merasa sangat terluka, tidurlah dalam bahagiamu, kami lepas kau pergi di senja ini”.

Rafa yang menyesal mengingat surat dari Rayyan yang telah lama memintanya untuk kembali kini usai sudah, pertemuan terakhir di ruang UGD, bertemankan butir-butir tetesan air bening berbalut kecewa dan sesal. Kini hantaran terakhir beralas tanah beratap tanah jua yang beralamatkan batu nisan.

Rafa mengeluarkan surat dari Rayyan yang disimpannya di dalam dompet, berulang membacanya sambil menangis dan berkata : “SELAMAT JALAN ADIKKU YANG PERNAH KU LUPAKAN, SEMOGA MAAFMU ADA DIAKHIR PERTEMUAN KITA BEBERAPA SAAT LALU, BERBAHAGIALAH DI SISI TUHANMU”.

tags : cerpen sedih, cerpen menyedihkan, cerpen kakak adik
cerpen sedihcerpen menyedihkancerpen kakak adik
cerpen sedihcerpen menyedihkancerpen kakak adik
cerpen sedihcerpen menyedihkancerpen kakak adik

0 komentar:

Posting Komentar

berikan komentar pada tulisan ini dengan kata yang sopan dan bijak ya sahabat media ^_^, jika komentar dianggap spam oleh admin komentar akan di delete ^_^ terimakasih