Cinta tak semewah mobil 1 milyar
De’, kamu tau mas sangat mencintaimu, mas berharap profesi mas yang hanya kuli pasir tak membuatmu memilih cinta yang lain. De’, cinta mas tak mungkin akan semewah mobil yang seharga 1 milyar. Tapi de’, mas akan berusaha memberikan cinta yang setulus cinta adam sehingga iya tak mampu berpisah lama dengan hawa. Bisikku ditelinga mungil seorang bidadari yang berdiri disampingku di depan jendela kamar.
Mas, aku menerima pinanganmu karena aku tahu dan aku merasakan kebahagiaan bersamamu. Jangan pernah mas mengatakan, bahwa mas hanya kuli pasir yang hanya memberi nafkah secukupnya. Tidak mas, mas adalah suami yang banyak di impikan setiap wanita didunia. Tak ada yang bisa ku ingkari bahwa engkau laki-laki terhebat dengan usahamu menjagaku agar tetap bersamamu dalam ridha Rab kita. Kata manis yang terdengar dari bibir kecil seorang wanita yang ku pinang 1 tahun yang lalu.
Di sore itu, di depan jendela sambil melihat pemandangan langit biru di belakang rumah. Ku kecup keningnya dengan lembut. “terimakasih de’, karena kamu tak pernah menuntut kemewahan dari mas yang hanya mampu memberi makan untuk kita berdua”.
“itu lebih dari cukup bagiku mas, daripada aku harus kehilangan suami sehebat kamu”.
Mira, istriku yang sejatinya berasal dari keluarga yang mapan. Tetapi alhamdulillah keluarganya tidak memprotes pekerjaan ku yang hanya sebagai kuli pasir. Ketika aku meminang Mira bersama kedua orang tuaku, mereka hanya serius mengatakan “jika kau memang serius dengan anak kami, jaga ia, cukupi kebutuhannya, dan lindungilah ia dan anak-anakmu kelak dari api neraka”.
Benar. Mira berasal dari keluarga seorang ustadz yang bernama Marwan. Sehingga ia tidak mempersalahkan pekerjaanku, yang penting aku mengerti agama dan tau tanggungjawabku sebagai suami.
Tepatnya pada tanggal 15 juli tahun 2000 aku melangsungkan pernikahan sederhana dengan mahar seperangkat alat sholat. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Rasa senang yang luar biasa, akhirnya aku mempunyai seorang bidadari yang tak akan pernah ku lepaskan hingga Allah memanggilku untuk pulang.
4 bulan setelah pernikahan, Mira mengandung anak kami yang pertama. Kebahagian yang tak lagi bisa diucap dengan apapun selain Alhamdulillah.
5 bulan Mira mengandung, aku mengontrakkan rumah kecil untuk kami berdua dan calon buah hati kami. Terkadang aku bertanya “mungkinkah Mira sabar dengan kehidupan yang seperti ini?”. Tetapi aku yakin ssemuanya akan baik-baik saja.
Seorang kuli pasir, yang harus pergi pagi dan pulang petang. Meninggalkan Mira sendirian di rumah kecil yang tak terlalu jauh dari rumahnya.
Suatu hari, aku pernah pulang lebih cepat dari biasanya, aku buka pintu rumah dengan pelan dengan maksud memberikan surprise kepada istriku. Tetapi, saat aku memegang ganggang pintu kamar, aku mendengar suara lirih seperti orang yang menangis. Ku buka pintu kamar, ku dapati Mira sedang bersedih duduk bersandar di atas tempat tidur.
“de’... kenapa kau bersedih ?, apakah kau tidak lagi sabar dengan kehidupan kita yang sangat sederhana ini?” ucapku sedikit gugup.
Mira masih terdiam dengan airmatanya yang terus mengalir.
“De’... apa yang terjadi? Apakah perutmu sakit?” rasa khawatir menyerang nadiku.
“mas.. aku wanita biasa, terkadang aku ingin seperti mereka yang jalan-jalan bersama suami mereka, pergi ke tempat wisata melihat pemandangan yang indah, pergi ke mall berbelanja, apalagi, sebentar lagi kita akan mempunyai seorang anak”. Kata Mira di antara deretan tangisnya.
“de’... kamu tau, mas hanya seorang kuli pasir, tak mampu membeli mobil untuk mengajakmu jalan-jalan. Tak bisa membelikanmu pakaian setiap hari”. Ku cium keningnya dan ku peluk ia sesaat.
Tiba-tiba Mira berbicara dalam lirihnya dan ketika pelukan ku belum ku lepas.
“maafkan aku mas, apa yang telah aku katakan. Aku tak ingin menjadi seorang istri yang tak pandai bersyukur. Maafkan aku mas, aku tak bermaksud menyakiti hatimu, aku tak bermaksud memaksamu menjadi seperti suami mereka. Tak ada yang bisa ku kufuri dari cintamu. Memang aku tak punya harta seperti suami mereka, tetapi aku punya cinta suamiku yang belum tentu suami mereka memilikinya”. Air mata Mira mengalir membasahi pundakku.
Ku lepaskan pelukanku dan ku tatap matanya.
“de’... coba lihat mata mas, tegakkan kepalamu!” pinta ku kepadanya
“de’... kamu tidak perlu minta maaf, semua yang kau inginkan tadi adalah kewajiban mas sebagai suamimu, suatu saat, jika Allah memberikan rezki lebih kepada kita”.
“maafkan mira mas, mira tak bermaksud memaksa mas seperti itu”.
“tidak sayang, kamu tidak punya salah, itu adalah kewajiban mas yang harus mas penuhi” ucapku smabil mengusap kepalanya.
“sungguh besar nikmat Allah melalui cintamu kepada ku mas”.
Sebenarnya hari itu, ketika aku pulang lebih cepat dari biasanya, aku membawakan sebuah oleh-oleh untuknya yang telah ku bungkus dengan rapi dengan pita merahmuda. Kado itu kutinggalkan di sebalik dinding kamar karena mendengar suara tangis sebelum kubuka pintu kamar tadi.
“de’... mas punya sesuatu untukmu, tunggu sebentar ya de’?”.
Aku bergegas keluar mengambil kado yang terikat pita merahmuda itu, dan kembali untuk memberikan kado itu kepadanya.
“de’.. ini hadiah untukmu, karena engkau telah bersabar hidup dengan mas dengan kehidupan yang sangat sederhana ini walaupun tidak sebanding dengan letihmu mengandung anak kita dan keringatmu mengurus rumah sendirian”.
“apa ini mas?”.
“bukalah de’, mudah-mudahan kado ini bisa mengobati sedikit kesedihanmu”.
Perlahan Mira membuka pita yang mengikat kado tersebut, kemudian dengan lembut ia membuka bungkus kado yang juga berwarna merahmuda dengan corak bunga mawar. Aku mulai melihat senyuman dibibirnya, bahagia rasanya bisa memberikan kado itu kepadanya walaupun tak sebesar harapannya tadi. Hanya sehelai gamis berwarna merahmuda warna kesukaannya yang bercampur dengan garis-garis putih di lengan.
Mira langsung berdiri dan membentangkan baju gamis tersebut diatas tempat tidur. Tanpa ragu, ia memelukku dengan erat dan mengucapkan terimakasih.
“terimakasih mas”. Ucapnya sangat bahagia.
“maafkan mas de’.. hanya bisa memberikan ini untukmu”.
“ini lebih dari cukup mas”.
Mira mencoba baju gamis barunya itu, dan menunjukkan kepadaku dengan raut wajah yang sangat gembira.
Alahmadulillah ya Allah, Engkau berikan aku seorang istri yang penyabar dan taat kepadaMu dan kepadaku.
Akhirnya 2 bulan setelah itu, Mira melahirkan anak pertama kami dengan selamat. Ku ucapkan terimakasih kepadanya karena mau bertaruh nyawa untuk melahirkan seorang anak yang telah 9 bulan hidup dirahimnya.
Semua keluarga mertua dan ayah ibuku berkumpul dirumah kecil kami untuk ikut merasakan kebahagiaan kami sebagai orang tua baru.
Kemudahan yang diberikan Allah terhadap aku dan istriku, karena kesabaran istriku yang tak pernah mengeluh dengan keadaan yang sangat sederhana. Meski aku tahu terkadang pasti ia mengharapkan kehidupan yang lebih dari ini, usahaku untuk membahagiakannya takkan pernah berhenti meski aku mempertaruhkan jiwaku untuknya.
Kebahagiaan takkan pernah putus diantara orang-orang yang ikhlas dan sabar, seperti istriku dengan kesabarannya juga kebahagiaan bisa kami nikmati setiap saat dalam kesederhanaan bahkan kekurangan meski tidak dengan mobil 1 milyar.
‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘‘sekian dulu cerpen islam, cinta tak semewah mobil 1 milyar’’’’’’’’’’’’’’’’’’’
Penulis
Rifda ariqah
0 komentar:
Posting Komentar
berikan komentar pada tulisan ini dengan kata yang sopan dan bijak ya sahabat media ^_^, jika komentar dianggap spam oleh admin komentar akan di delete ^_^ terimakasih